Jumaat, Februari 25, 2011

QADHA’ & QADAR SUATU PERBAHASAN

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

I. DEFINISI QADHA’ DAN QADAR

Qadha’ menurut bahasa memiliki beberapa makna yang berbeza menurut struktur kalimatnya, di antaranya bererti:

a. Hukum, حكم ertinya قضى يقضى قضاء menghukumi, memutuskan.

b. Perintah, seperti firman allah;

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya. (al-Isra’ 17: 23)

c. Khabar, seperti firman Allah;

“Dan telah kami khabarkan (wahyukan) kepadanya (Nabi Luth) perkara itu, iaitu bahawa mereka akan ditumpaskan habis di waktu Subuh.” (al-Hijr 15: 66)

Sedangkan yang dimaksudkan di sini ialah erti yang pertama. Adapun Qadar, maka ia adalah takdir, iaitu menentukan atau membatasi ukuran segala sesuatu sebelum terjadinya dan menulisnya di Lauhul Mahfuz. Allah berfirman;

“.. dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya...” (Fushshilat 41: 10)

Keterangan Definisi

Qadha’ adalah hukum Allah yang telah Dia tentukan untuk alam semesta ini, dan Dia jalankan alam ini sesuai dengan konsekuensi hukum-Nya dan sunnah-sunnah yang Dia kaitkan antara akibat dengan sebab-sebabnya, semenjak Dia menghendakinya sampai selama-lamanya, maka setiap apa yang terjadi di alam ini adalah berdasarkan takdir yang mendahuluinya. Ini sesuai dengan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah dan yang telah Dia atur. Maka apa yang terjadi bererti dia itu telah ditakdirkan dan ditentukan qadha’nya oleh-Nya, dan apa yang belum terjadi bererti dia itu belum ditakdirkan dan belum ditentukan qadha’nya. Apa yang ditakdirkan bukan bahagianmu, tidak akan mengenaimu dan apa yang ditakdirkan mengenai kamu, tidak akan meleset darimu.

II. BERIMAN KEPADA QADHA’ ALLAH DAN QADARNYA

Beriman kepada qadha’ dan qadar Allah adalah rukun ke enam dari rukun iman. Sebagaimana tersebut dalam jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril a.s. tentang iman, beliau bersabda,

“Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Hari Akhir, dan engkau beriman kepada qadar-Nya, yang baik maupun yang buruk.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 1/19-20, dan Muslim 1/37)

Makna beriman kepada qadar ialah membenarkan dengan sesungguhnya bahawa yang terjadi (samaada baik atau buruk) itu adalah atas qadha’ dan qadar Allah.

Seperti firman Allah,

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (al-Hadid 57: 22-23)

Ayat-ayat tersebut membuktikan bahawa segala yang terjadi pada alam semesta dan pada jiwa manusia, yang baik mahupun yang buruk, semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah dan ditulis sebelum diciptakannya makhluk. Maka apa yang tidak didapatkan dari sesuatu yang disukai tidak mengharuskan rasa susah, dan apa yang didapatkan dari kebaikan tidak mengharuskan rasa suka.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Zaid bin Tsabit, dia berkata, saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda,

“Seandainya Allah menyiksa penduduk langit dan penduduk bumi, tentu Dia menyiksa mereka tanpa berbuat zalim kepada mereka. Jika Ia merahmati mereka maka rahmat-Nya adalah lebih baik bagi mereka daripada amal mereka. Seandainya engkau memiliki emas segunung Uhud atau seperti gunung Uhud yang engkau belanjakan di jalai Allah, maka Ia tidak akan menerimanya darimu sebelum engkau beriman kepada takdir dan engkau mengetahui bahawa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bahagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika engkau mati atas (akidah) selain ini maka engkau masuk neraka.” (Hadis Riwayat Ahmad, 5/185, Ibnu Majah dan Abu Daud)

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda,

“Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, tetapi pada diri masing-masing terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk memperoleh apa yang bermanfaat bagimu, dengan memohon pertolongan kepada Allah, dan jangan malas. Apabila engkau tertimpa sesuatu maka janganlah engkau mengatakan, ‘Seandainya aku berbuat begini tentu hasilnya begini dan begini,’ akan tetapi ucapkanlah, ‘Allah telah mentaqdirkan dan apa yang Ia kehendaki Ia laksanakan.’ Karena sesungguhnya ‘andaikata’ (pengandaian) itu akan membuka perbuatan syaitan.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2052)

Semua yang telah ditakdirkan Allah adalah untuk sebuah hikmah yang diketahui oleh-Nya. Allah tidak pernah menciptakan keburukan yang murni, yang tidak melahirkan suatu kemaslahatan. Maka keburukan dan yang tidak disukai tidak dinisbatkan kepada-Nya dari sudut pandang sebagai keburukan yang mumi, akan tetapi ia masuk dalam rentetan makhluk-Nya.

Segala sesuatu apabila dinisbatkan kepada Allah adalah keadilan, hikmah dan rahmat. Maka keburukan murni tidak termasuk ke dalam sifat Allah dan tidak juga ke dalam perbuatan-Nya. Dia memiliki kesempurnaan mutlak. Hal ini ditunjukkan firman-Nya,

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An-Nisa’ 4: 79)

Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang diterima manusia adalah berasal dari Allah. Sedangkan keburukan yang menimpanya adalah kerana dosa dan kemaksiatannya. Tidak seorang pun boleh lari dari takdir yang telah ditetapkan Allah pencipta manusia. Tidak ada yang terjadi di dalam kerajaan-Nya ini melainkan apa yang Dia kehendaki, dan Allah tidak meredhai kekufuran untuk hamba-Nya. Dia telah menganugerahi manusia kemampuan untuk memilih dan berikhtiar. Maka segala perbuatannya adalah tenjadi atas kemampuannya dan kemahuannya. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki karena hikmah-Nya. Tidak ditanya apa yang Dia lakukan, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang amal perbuatan mereka.

III. TINGKATAN BERIMAN KEPADA TAKDIR

Iman kepada takdir memiliki empat tingkat:

Tingkat pertama:

Iman kepada ilmu Allah yang merupakan sifat Allah sejak azali. Dia Mengetahui segala sesuatu. Dia menguasai segala sesuatu, tidak ada makhluk sekecil apapun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum Dia menciptakannya. Ia mengetahui keadaan mereka dan hal ehwal mereka di masa yang akan datang, semuanya, yang rahsia dan yang terang-terangan.

Adapun dalil-dalilnya cukup banyak, antara lain:

a. Firman Allah,

...dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Ath-Thalaq 65: 12)

b. Firman Allah,


هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan yang hak selain Dia. Yang mengetahui yang ghaib dan nyata.” (Al-Hasyr: 22)

* Firman Allah s.w.t عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ berulang-ulang disebut di dalam al-Qur’an, di dalam surat al-Baqarah, al-An’am, ar-Raa’d, al-Mu’minun, ar-Rum, as-Sadjah, al-Jumuah dan at-Taghabun.

“Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (Saba’: 3)

d. Firman Allah,

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahui (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfizh).” (Al-An’am 6: 59)

e. Hadis imam Muslim dan lainnya yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata bahawa Rasulullah s.a.w., ditanya tentang anak-anak orang musyrik, beliau menjawab,

“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika Ia menciptakan mereka.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2049, dan lihat al-Bukhari, bab al-Qadar 8/153)

Dalil-dalil di atas menunjukkan ilmu Allah, penguasaan-Nya terhadap segala sesuatu, yang hadir atau yang ghaib, yang telah lalu dan yang akan datang dan apa-apa yang tidak ada bagaimana seandainya ada; semuanya itu sangatlah jelas bagi-Nya.

Tingkatan kedua:

Mengimani bahawasanya Allah menulis dan mencatat takdir makhluk-Nya di Lauhul Mahfuzh. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan. Hal ini dibuktikan oleh dalil-dalil yang antaranya:

a. Firman Allah,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di burni dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid 57: 22)

b. Firman Allah,

“Apakah kamu tidak rnengetahui bahawa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalarn sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu arnat mudah bagi Allah.” (Al-Hajj 22: 70)

c. Firman Allah,

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti karnu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalarn al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-Anam: 38)

d. Sabda Rasulullah s.a.w, riwayat Imam Ahmad dan lainnya, dari Ubadah bin Shamit,

“Makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah al-qalam (pena), kemudian Dia berkata kepadanya, ‘Tulislah.’ Pena itu berkata, ‘Apa yang hamba tulis?’ Dia berkata, ‘Maka dia pun menulis apa yang ada dan apa yang bakal ada sampai hari Kiamat.’ (Hadis Riwayat Ahmad 5/37, lihat Kitab Syari’ah karya al-Ajurri, hal. 77, 178, 186, 187)

e. Sabda Rasulullah s.a.w., riwayat Imam al-Bukhari dengan sanad dari ali r.a.,

“Tidak seorang pun di antara kalian melainkan sudah ditulis Allah tempat duduknya dari neraka atau dari syurga. Maka berkatalah seorang sahabat, ‘Mengapa kita tidak bertawakkal (bergantung pada takdir) saja Ya Rasulullah?’ Baliau menjawab, ‘Tidak, beramallah kalian, kerana masing-masing telah dimudahkan.’ Kemudian beliau membaca ayat, ‘Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (Al-Lail: 5-10. Hadis Riwayat al-Bukhari 8/154, lihat Muslim 4/ 2040)

Dalil-dalil di atas menyatakan bahawa Allah telah mencatat segala sesuatu sebelum menciptakannya dan tidak melupakannya sedikit pun. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah yang tidak tersembunyi bagiNya suatu apa pun.

Tingkat ketiga:

Iman kepada masyi’ah (kehendak) Allah dan kekuasan-Nya yang menyeluruh. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi atas kekuasaan-Nya, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi; bukan karena tidak mampu, melainkan kerana Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit mahu pun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (Fathir: 44)

Dalil-dalil tentang masyi’ah Allah yang menyeluruh banyak di antaranya adalah:

Firman Allah,

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At-Takwir: 29)

b. Firman Allah,

“Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (A1-An’am: 39)

c. Firman Allah,

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja)...” (An-Nahi: 39)

d. Firman Allah,

“Sesungguhnya perintah Allah apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (Yasin: 82)

e. Hadis Rasulullah s.a.w., dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan r.a.,

“Siapa yang dikehendaki Allah untuk menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya fakih (mengerti) dalam agama ini.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 1/27, Muslim 111/1524)

Dalil-dalil di atas tentang umumnya masyi ‘ah Allah sangat sekali, lah jelas. Maka apa saja yang terjadi di alam raya ini semuanya dikehendaki Allah dengan iradah kauniyah-Nya (kehendak universal), kerana Dia adalah satu-satunya al-Khaliq dan al-Malik yang mengatur. Tidak ada kejadian atau peristiwa dalam kerajaan-Nya ini yang terlepas dan keluar dari kemahuan-Nya. Tidak ada yang mampu menolak qadha’Nya, dan tidak ada yang memprotes hukum-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan-Nya.

Tingkat keempat:

Mengimani bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya, dan tidak ada Rabb selainNya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini:

a. Firman Allah,

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62)

b. Firman Allah,

dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya . (Al-Furqan: 2)

c. Firman Allah,

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Fatihah: 2)
d. Firman Allah,

“Allah pencipta langit dan bumi “(Al-Anam: 101)

e. Firman Allah,

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96)

f. Hadits Rasulullah s.a.w.,

“Sesungguhnya Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaannya.” (Hadis Riwayat al-Hakim 1/31-32, dan Majma’ az-Zawa’id 7/ 197)

Dalam ayat-ayat dan hadis tersebut di atas terdapat pernyataan yang jelas bahwa Allah s.w.t., Dialah yang mentakdirkan segala sesuatu dan yang menciptakannya. Dialah yang meliputi segala sesuatu dengan perhatian dan pengaturan-Nya. Allah telah mentakdirkan dan menciptakan segala yang ada tanpa ada contoh sebelumnya. Dia menganugerahi sebagian makhluk-Nya kemampuan dan perbuatan. Allah adalah Pencipta orang yang berbuat serta perbuatannya. Dialah al-Khallaq al-Alim (Maha Pencipta dan Maha Mengetahui).

IV. JENIS-JENIS/SKOP TAKDIR

Takdir ada empat macam, semuanya termasuk kandungan dan tulisan takdir umum dan semuanya kembali kepada ilmu Allah yang mutlak serta mencakup segala sesuatu.

Takdir Pertama:

Adalah takdir umum (taqdir azali), meliputi segala hal dalam lima puluh ribu tahun sebelum terciptanya langit dan bumi, ketika Allah menciptakan al-qalam dan memerintahkannya menulis segala apa yang ada sampai Hari Kiamat. Ini adalah taqdir azali. Dalil takdir ini firman Allah,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Al-Hadid: 22)

Dan sabda Rasululah s.a.w.,

“Allah telah menulis takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan Arsy-Nya berada di atas air’.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2044)

Dan masih banyak lagi dalil-dalil yang lain.

Takdir Kedua:

Taqdir ‘Umuri, iaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya, ketika pembentukan air sperma (blatokist) sampai pada masa sesudah itu, dan bersifat umum; mencakup rezeki, perbuatan, kebahagiaan dan kesengsaraan. Dalilnya adalah sabda Rasulullah s.a.w.,

“Sesungguhnya salah seorang dari kamu dikumpulkan di perut ibunya selama 40 (empat puluh) hari, kemudian terbentuk ‘alaqoh (morula/segumpal darah) seperti itu (lamanya), kemudian menjadi mudhghah (embrio/segumpal daging) seperti itu (lamanya). Kemudian Allah mengutus seorang malaikat diperintah (menulis) empat perkara: rezekinya, ajalnya, sengsara atau bahagia. Demi Allah, sesungguhnya seorang dari kamu atau seorang laki-laki akan beramal seperti amalnya ahli neraka sampai tidak ada jarak antara dia dan neraka melainkan satu depa atau satu hasta, ternyata catatan takdir telah mendahuluinya, sehingga ia melakukan amalnya ahli syurga maka ia pun memasukinya. Dan sesungguhnya seorang laki-laki akan beramal seperti amalnya ahli syurga sampai tidak ada jarak antara dia dengan syurga melainkan satu hasta atau dua hasta, ternyata tulisan takdir telah mendahuluinya, sehingga ia mengamalkan amalnya ahli neraka, maka ia pun memasukinya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 8/152, dan Muslim 4/ 36)

Takdir ini lebih khusus dan yang ada di Lauhul Mahfuzh.

Takdir Ketiga:

Taqdir Sanawi (tahunan), iaitu yang dicatat pada malam lailatul qadar setiap tahun, seperti firman Allah:

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (iaitu) urusan yang besar dari sisi Kami, Sesungguhya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul.” (Ad-Dukhan: 4-5)

Para mufassir menyebutkan, pada malam itu ditulislah semua apa yang bakal terjadi dalam satu tahun: mulai dan kebaikan, keburukan, rezeki, ajal dan lain-lain, untuk memilah kejadian dan peristiwa dalam satu tahun, yang kesemuanya itu telah dicatat sebelumnya dalam Lauhul Mahfuzh, juga apa yang ditetapkan dalam takdir ‘umuri yang berkaitan khusus dengan individu. Dan Allah Maha Menjaga segala sesuatu.

Takdir Keempat:

Taqdir yaumi (harian), iaitu dikhususkan untuk semua peristiwa yang telah ditakdirkan dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rezeki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan dan sebagainya.

Sebagaimana firman Allah,

“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (Ar-Rahman: 29)

Maksudnya, apa yang menjadi urusan-Nya menyangkut makhluk-Nya. Takdir ini dan kedua takdir sebelumnya (‘umuri dan sanawi) merupakan penjabaran/pecahan dari taqdir azali.

V. LARANGAN MEMPERBINCANGKAN SECARA MENDALAM MASALAH TAKDIR

Beriman kepada takdir, yang baik mahupun yang buruk, adalah salah satu rukun iman. Takdir adalah satu mata rantai dari untaian tauhid. Dan beriman kepada sebab-sebab yang menghantarkan kepada takdir yang baik mahupun yang buruk adalah aturan syariat. Tidak akan lurus dan benar urusan dunia dan agama ini tanpa adanya iman kepada tauhid dari syariat. Rasulullah telah menegaskan makna ini kepada seseorang yang berkata,

“Tidak cukupkah kita menyerahkan diri kepada catatan takdir saja, dan kita tidak perlu beramal?” Maka beliau bersabda, “Beramallah, kerana masing-masing akan dimudahkan. Adapun orang-orang yang ditulis berbahagia, maka mereka akan dimudahkan melakukan amalan-amalan orang-orang yang berbahagia. Sedangkan orang-orang yang ditulis celaka, maka mereka akan dimudahkan melakukan amalan-amalan orang-orang yang celaka.” Kemudian beliau membaca ayat, “Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar.” (Al-Lail: 5-10. Hadis Riwayat Muslim 4/2039-2040. Lihat al-Bukhari 8/154)

Ini adalah pernyataan baginda Rasulullah s.a.w., suatu perintah untuk beramal dan larangan untuk pasrah kepada nasib yang digariskan. Amal-amal yang dihasilkan manusia menunjukkan bahawa hal itu telah dikehendaki dan ditakdirkan Allah sebelumnya. Yang menciptakan sebab dan akibat adalah Allah, Pencipta segala sesuatu. Mahasuci Allah, Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia lakukan.

Takdir adalah rahsia Allah mengenai makhluk-Nya, tidak ada yang mengetahuinya; tidak malaikat yang paling dekat dan tidak pula nabi yang diutus.

Banyak nash-nash syariat yang membahas masalah takdir. Sebahagiannya telah disebutkan di awal perbincangan terdahulu. Di antaranya, ada (dalil) yang menafikan kezaliman Allah seperti firman Allah,

“Dan tidaklah Kami menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Az-Zukhruf: 76).

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri.” (Yunus: 44)

Di antaranya lagi menetapkan adanya kekuatan dan kehendak bagi manusia serta menyandarkan perbuatan manusia kepada mereka sendiri. Hal ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya berdasarkan madzhab salaf (generasi awal Islam) dalam qadha’ dan qadar. Dan dari keterangan-keterangan di atas mukhathab (yang diajak bicara) yang pelbagai tingkatannya, akan dapat memahami sesuatu dari takdir sesuai dengan kemampuan masing-masing yang kesemuanya itu mengajak dan menuntun untuk mengimani sesuatu yang disembunyikan Allah dari mereka, iaitu ilmu ghaib yang diimani oleh orang-orang yang bertakwa yang menyerahkan kepada ilmu Allah Yang Mahaluas dan kekuasaan serta penciptaan-Nya atas segala sesuatu. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi.

Rasulullah s.a.w., yang bijak dan sangat memperhatikan umatnya memperingatkan mereka dari masalah qadha’ dan qadar yang menyebabkan ketergelinciran yang membahayakan. Maka beliau melarang umatnya agar tidak memperbincangkan dan membahas terlalu dalam tentang qadha’ dan qadar. Kerana hal itu akan mendorong untuk membanding-bandingkannya dengan hal-hal yang bboleh dikesan melalui pancaindera, yang di antaranya mengakibatkan terbentuknya fikrah maddiyah (pemikinan materialisme) yang berada di depan mata kita. Ini adalah jalan yang berbahaya, berupaya menjerumuskan manusia kepada perlawanan terhadap Allah Yang Maha Mengatur segala milik-Nya, dan akan menjerumuskan dia ke dalam jurang kebingungan dan kesesatan.

Manusia tidak akan sampai kepada sesuatu yang boleh membuat hatinya tenang kecuali jika ia mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya dan meninggalkan perbahasan yang mendalam tentang qadha’ dan qadar, dan menjadikan perintah-perintah syariat sebagai petunjuk yang menuntunnya untuk menyerahkan diri kepada Allah, serta redha terhadap sesuatu yang tidak difahaminya. Di dalam al-Quran terdapat peringatan yang serupa dengan masalah in iaitu tentang hakikat ruh. Allah berfirman,

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Maksudnya, engkau tidak diberi ilmu melainkan sedikit sekali, yang dengan ilmu itu tidak memungkinkan engkau mengetahui hakikat ruh yang sebenarya, tetapi engkau mungkin mengetahui pengaruh-pengaruhnya atau fungsinya ketika dia masih berada pada jasad.

VI. MADZHAB SALAF DALAM QADHA’ DAN QADAR

Para salaf umat ini tidak ada yang berselisih tentang kebenaran qadha’ dan qadar Allah. Mereka semua mengatakan,

“Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Tuhannya dan Pemiliknya (akan sesuatu itu). Tidak ada suatu apapun yang keluar dari itu. Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi. Tidak ada di alam semesta ini sesuatu yang terjadi melainkan dengan kehendak (masyi’ah) dan kekuasaan (qudrah)Nya. Tidak sesuatu pun yang menghalangi-Nya apabila Ia menginginkan sesuatu. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, Maha Mengetahui segala sesuatu yang telah berlalu, yang akan terjadi dan tidak ada bagaimana seandainya dia ada. Dia telah menulis segala yang ada sebelum terciptanya;

Perbuatan para hamba, rezeki, ajal dan bahagia atau celaka dan lain sebagainya.

Seperti dalam firman Allah,

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Al-An’am: 17)

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami’.” (At-Taubah: 51)

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dan apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al-Qashash: 68)

Ayat-ayat ini dan yang seumpamanya menunjukkan bahawa setiap apa yang terjadi dalam alam semesta ini adalah telah ditakdirkan oleh Allah dan telah ditulis di sisi-Nya. Hal ini merupakan contoh dari sifat rububiyah-Nya yang mutlak. Mahasuci Allah, Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya tentang apa yang mereka lakukan. Dia Mahabijakana dan Maha Mengetahui. Dia mengatur segalanya dengan ilmu dan hikmah-Nya. Dia menjadikan dari pekerjaan-pekerjaan yang terjadi sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan oleh siapa pun selain Dia seperti hidup atau mati serta sifat-sifat makhluk tentang bentuk atau panjang pendek dan lainnya, juga bencana atau musibah yang menimpanya.

Sebagaimana firman-Nya,

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di burni dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelurn Kami rnenciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid: 22)

Adapun segala perbuatan, sifat, dan kejadian yang berada di luar keinginan dan ikhtiar manusia, maka hal itu bukan medan taklif dari Allah dan tidak dinisbatkan kepada manusia. Tetapi ada perbuatan-perbuatan yang mampu dilakukan manusia dan berada dalam kemampuan manusia, yang kalau ia kerjakan berdasarkan kekuatan dan ikhtiar yang sudah dianugerahkan Allah kepadanya, maka nampaklah hikmah Allah dalam hal pembalasan. Seperti firman Allah,

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara karnu yang lebih baik arnalnya.” (Al-Mulk: 2, dan Hud: 7)

Setiap orang pasti merasa bahwa ia mampu melakukan perbuatan-perbuatan itu atau meninggalkannya. Jadi perbuatan itu benar-benar perbuatannya sendiri sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Allah berfirman,

“Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (AI-Kahfi: 29)

“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Ath-Thur: 21)

“(Iaitu) bagi siapa di antara kamu yang mahu menempuh jalan yang lurus.” (At-Takwir: 28)

Oleh kerana manusia boleh memilih dalam perbuatannya, baik itu iman dan istiqamah atau pun kebaikannya, dengan itu diadakanlah pertanyaan, hisab, pahala dan seksa. Tetapi hal ini tidak bererti perbuatan manusia keluar dari kekuasaan Allah, kerana ia tidak mampu berbuat kecuali dengan apa yang Allah telah tetapkan atasnya. Ia tidak berkehendak dan melakukan kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dikerakannya; sebagaimana disebutkan dalam dalil-dalil terdahulu.

Maka Allah adalah al-Khaliq, pencipta segala sesuatu, Pencipta manusia beserta amalnya. Allah telah mengaitkan antara sebab dengan akibatnya. Manusia mempunyai kekuatan dan kemahuan, tetapi ia mengikuti kekuasaan Allah dan kehendak-Nya. Menyandarkan perbuatan kepada Allah adalah hakikat (bukan majaz), sebagaimana menyandarkannya kepada makhluk adalah hakikat pula.

Perbuatan-perbuatan Allah adalah baik semuanya. Perbuatan Allah tidak mengandungi keburukan atau kejahatan sedikit pun dari segi mana pun, kerana Dia tidak pemah menciptakan keburukan yang murni dari segala arah. Sebab hikmah-Nya menolak untuk itu; kerana dengan begitu tidak ada kemaslahatan pada makhluk-Nya. Dia Mahasuci, di tangan-Nya-lah segala kebaikan, sedangkan keburukan tidak dinisbatkan kepada-Nya. Apa yang dinisbatkan kepada-Nya tidaklah buruk. Dan penisbatan kepada-Nya tidaklah buruk. Dan penisbatan kepada-Nya sehubungan dengan Dia yang menciptakan dan menghendaki tidaklah buruk, kerana Dia adalah Mahabijaksana dan Maha-Adil, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang layak dan semestinya. Sedangkan perbuatan buruk, hal ini disandarkan kepada hamba kerana ia telah melakukan suatu pebuatan yang menyebabkan kehancuran. Sebagaimana Allah berfirman,

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebahagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy-Syura: 30)

Rasulullah bersabda,

“Segala kebaikan adalah berada ditangan-Mu, sedangkan keburukan tidaklah (dinisbatkan) kepada-Mu.” (Hadis Riwayat Muslim 1/535)

Maksudnya, keburukan yang teijadi tidak dikembalikan kepada Allah; kerana ia kembali kepada dosa, ia terjadi kerana dosa yang dilakukan oleh hamba, maka tidak kembali kepada Asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, akan tetapi kembali kepada makhluk-makhluk-Nya. Wallahu a’lam!

Kesimpulan Madzhab Salaf (Pegangan Salaf) Dalam Persoalan Qadha’ dan Qadar

1 - Beriman kepada rububiyah Allah yang mutlak. Dia adalah Rabb, Penguasa yang menciptakan segala sesuatu, Yang mengajarinya, mentakdirkannya, menginginkannya serta menulisnya. Mahasuci Allah.

2 - Sesungguhnya seorang hamba mempunyai kemampuan, kehendak dan ikhtiar, yang dengan kesemuanya itu terwujudlah perbuatan-perbuatannya dan kerananya mereka diberi pahala atau siksa.

3 - Sesungguhnya kemampuan dan kemahuan hamba yang dengannya dapat menghasilkan pelbagai perbuatan tidaklah keluar dari qudrah Allah dan masyi‘ah-Nya. Dialah yang menganugerahkan semua itu kepadanya, dan menjadikannya mampu memilah dan memilih. Maka pekerjaan mana saja yang ia pilih tidaklah keluar dari masyi’ah, qudrah dan penciptaan Allah.

4 - Sesungguhnya beriman kepada qadar, yang baik mahupun yang buruk adalah berdasarkan penisbatannya kepada makhluk. Adapun jika dinisbatkan kepada al-Khaliq maka seluruh qadar adalah baik, dan keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah. Ilmu Allah, masyi’ah, penulisan serta penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu adalah hikmah, keadilan, rahmat dan kebaikan. Keburukan tidak masuk sedikit pun kepada sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan Allah. Tidak ada kekurangan atau keburukan pada Dzat Allah. Bagi-Nya adalah kesempumaan dan keagungan mutlak. Maka tidak dinisbatkan keburukan itu kepada-Nya secara tersendiri, sekalipun termasuk dalam makhluk-Nya; akan tetapi menciptakan dari segi ini saja tidaklah buruk.

VII. BERDALIH DENGAN QADHA’DAN QADA RUNTUK MELAKUKAN MAKSIAT

Sesungguhnya orang yang memahami erti qadha’ dan qadar, tingkatan-tingkatannya serta pendapat yang benar dalam masalah ini akan mudah baginya memahami hal-hal yang selama ini sering membingungkan orang yang dangkal pengetahuannya dalam hal ini. Yang paling tampak adalah apa yang dilakukan sebagian orang ketika ia meninggalkan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya, ia lalu beralasan itu memang sudah ditakdirkan Allah s.w.t.. Mereka berpendapat demikian untuk menghibur dan menenangkan diri mereka. Bahkan mereka mengaku bahawa hal tersebut bererti iman terhadap qadha’ dan qadar. Ini adalah kesalahan besar dalam memahami salah satu rukun iman. Yakni iman kepada qadar Allah, yang baik mahupun yang buruk, yang manis mahupun yang pahit, semuanya itu dari Allah.

Sebahagian pemahaman yang benar telah kita jelaskan pada perbahasan sebelumnya dan tidak perlu mengulanginya lagi berkali-kali. Maka kita sekadar menghuraikan seperti berikut ini:

a. Sesungguhnya Allah adalah Pencipta segala sesuatu. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya maka tidak akan terjadi. Allah sendirilah, dengan Dzat dan sifat-sifat-Nya, bukan makhluk. Sedangkan selain Dia adalah makhluk. Dia adalah al-Khaliq. Dan termasuk makhluk-Nya adalah kebaikan dan keburukan, yang baik dan yang buruk.

b. Sesungguhnya hikmah Allah dalam menjadikan sebahagian makhluk-Nya sebagai mukallaf adalah sebagaimana firman Allah,

...agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.. .“ (Hud:7)

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih balk amalnya. Dan Dia Maha-Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk: 2)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setitis mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), kerana itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.” (Al-Insan: 2)

Ayat-ayat di atas menunjukkan manusia diciptakan untuk diuji agar berbuat baik. Ini menurut kemampuannya untuk melakukan atau tidak setelah mengetahuinya. Dan kemampuan seperti itu telah terpenuhi dengan anugerah Allah yang berbentuk:

1 - Akal sihat, yang merupakan tumpuan taklif. Maka orang yang berakal adalah orang mukallaf, dan siapa yang hilang akalnya maka hilang pula sifat taklif.

2 - Normalnya alat yang menjadi tolok ukur kemampuan dari segi kesihatan dan kemampuan.

Adapun yang dimaksud dengan ma’rifat (mengetahui) adalah mengetahui apa yang diujikan. Dan Allah telah menjadikan sumber-sumber ma’rfat itu bemacam-macam; sebahagiannya lagi berasal dari luar dirinya. Adapun yang memotivasi kebaikan adalah fitrah, akal dan wahyu Allah yang diberikan kepada rasul-Nya yang telah disampaikan kepada umat manusia.

Sedangkan yang memotivasi kejahatan adalah syaitan yang memanfaatkan keinginan-keinginan nafsu. Allah memberinya kemampuan mengganggu manusia serta mempengaruhi mereka, dan Allah juga memerintahkan agar mereka meminta perlindungan kepada Allah dan kejahatannya. Allah berfirman,

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dan kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia’.” (An-Nas: 1-6)

Rasulullah telah bersabda,

“Sesungguhnya syaitan itu mengalir pada tubuh manusia seperti mengalirnya darah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari 3/150, 9/87)

Allah adalah Hakim Yang Maha-Adil. Dia mempunyai hujjah yang nyata atas hamba-hamba-Nya. Dia menjadikan faktor pendorong kebaikan lebih banyak daripada faktor pendorong kejahatan, dan Dia menjelaskan dua jalan ini dalam firman-Nya,

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (Al-Balad: 10)

Setelah itu manusia mengambil jalan yang ia kehendaki berdasarkan pilihannya. Maka siapa yang menempuh jalan kebaikan, menuruti berbagai faktor pendorong kebaikan, mengalahkan berbagai faktor pendorong kejahatan, maka dia berhak mendapat ganjaran. Dan siapa yang memilih jalan keburukan mengikuti berbagai faktor pendorong keburukan maka dia berhak mendapat siksa.

Dan semua perbuatannya itu terjadi atas kemahuan dan pilihannya sendiri. Dia merasa dengan sedar bahawa dia tidak dipaksa untuk melakukan atau meninggalkan. Jika ia mahu, ia tidak melakukannya. Ini dapat dimengerti secara sempurna dan dirasakan oleh setiap insan dan juga dinyatakan oleh dalil-dalil al-Quran dan Sunnah Rasulullah yang suci.

Kemudian perlaksanaan kebaikan dan keburukan oleh manusia tidaklah menafikan penisbatannya kepada Allah yang menciptakan, kerana Dia adalah yang menciptakan segala sebab-sebab kejadian.

Sesudah ini maka barangsiapa beralasan dengan qadar untuk berbuat maksiat, maka alasannya tidak masuk akal dan tidak diterima. Allah telah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi’ah Allah atas kekufuran mereka dalam firman-Nya,

“Orang-orang yang menyekutukan Tuhan akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, nescaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.’ Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakan kepada Kami? Kamu tidak lain hanyalah berdusta.’ Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya’.” (Al-An’am: 148-149)

“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia, baik kami mahupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin) mereka; maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang’.” (An-Nahl: 35)

Mereka berdalil dengan masyi’ah Allah atas ridha dan mahabbahNya. Mereka menjadikan masyi’ah sebagai tanda ridha. Padahal Allah tidak mencintai kesyirikan dan tidak pula meridhainya, bahkan Allah mengutuknya serta melarangnya. Maka apa yang Dia perintah itulah yang diridhai dan dicintai, dan apa yang dilarangNya itulah yang dicela dan dimurkai. Dan keberadaanya sebagai hal yang dimurkai oleh Allah tidak mengeluarkan dia dan masyi’ah Allah yang bersifat universal (kauniyah) yang mencakup segala sesuatu. Berhujjah dengan qadar adalah merusak arti pembalasan atas amal perbuatan, dan merusak hikmah penciptaan surga dan neraka. Allah berfirman,

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Yunus: 99).

Akan tetapi masyi’ah menghendaki adanya taklif.

Kemudian orang yang berdalih dengan takdir tidak mahu menerima hujjah orang lain yang juga berdalih dengan takdir dalam hal mengambil hartanya misalnya, atau sejenisnya. Bahkan ia menuntut haknya dan meminta agar diterapkan hukuman atas orang yang menyalahinya. Seandainya takdir itu hujjah, tentu akan menjadikan hujjah bagi semuanya, dalam segala urusan dan dalam keadaan/situasi apapun.

VIII. HUKUM BERDALIH DENGAN TAKDIR KETIKA TERTIMPA MUSIBAH

Berhujjah dengan takdir atas tertimpanya musibah adalah dibolehkan. Segala musibah yang telah ditakdirkan menimpa manusia wajib diterima dengan redha. Ini adalah hadis pembelaan Nabi Adam a.s. di hadapan Musa Rasulullah a.s., bersabda,

“Adam dan Musa berbantah-bantahan, Musa berkata, ‘Wahai Adam, Anda adalah bapak kami, Anda telah mengecwakan kami dan mengeluarkan kami dari syurga’. Maka Adam berkata kepadanya, ‘Engkau Musa, Allah telah memilihmu dengan kalam-Nya dan menuliskan untukmu dengan Tangan-Nya. Apakah engkau (bertindak) mencelaku berdasarkan suatu perkara yang telah ditakdirkan Allah menimpaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi s.a.w., bersabda, ‘Maka Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.” (Hadis Riwayat Muslim 4/2042-2043)

Adam berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpanya, iaitu keluar dari syurga. Kerana itu Musa a.s. menyalahkan Adam dan berkata, ‘Mengapa engkau mengeluarkan kami dari syurga?’ Maka ternyata hujjah Adam menolak hujjah Musa a.s.. Allah telah menetapkan bahawa Adam dan anak keturunannya akan hidup di dunia, dan mereka diciptakan untuk itu, seperti yang dikhabarkan Allah s.w.t.;

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalfah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerosakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami sentiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhanmu berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (A1-Baqarah: 30)

Maka hujjah Adam menolak hujjah Musa, dan Musa tidak menyalahkan Adam atas kemaksiatannya iaitu memakan sesuatu dari pohon, Musa lebih mengerti untuk tidak mencela Adam atas dosa yang dia telah bertaubat kepada Allah, dan Allah pun menerima taubatnya. Dan Adam lebih mengerti untuk tidak berhujjah dengan takdir bahawa orang yang berdosa tidak mendapat cela. Wallahu a’lam!

Dipetik/disunting dari terjemahan (indonesia) terhadap kitab – التوحيد للصف الثاني العالي (Selengaraan Sheikh Dr. Soleh bin Abdullah al-Fauzan)

Imam al-Barbahari (Salah seorang pengikut Imam Ahmad): Ilmu Itu Merehatkan Tubuh-Badan

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Imam Abu Muhamamd al-Hasan B. ‘Ali B. Kholaf al-Barbahari rahimahullah (Wafat 329H) berkata:


واعلم أن العلم ليس بكثرة الرواية والكتب ولكن العالم من اتبع الكتاب والسنة وإن كان قليل العلم والكتب ومن خالف الكتاب والسنة فهو صاحب بدعة وإن كان كثير الرواية والكتب

Terjemahan: Dan ketahuilah bahawa ilmu itu bukan disebabkan banyaknya riwayat (perkataan) dan kitab/buku, Namun, seseorang ‘alim (yang berilmu) itu adalah seseorang yang mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah walaupun sedikit ilmu dan kitab yang dimilikinya. Sesiapa sahaja yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah maka dia adalah pengikut bid’ah walaupun banyak riwayat (ilmu) dan kitabnya.

واعلم أنه من قال في دين الله برأيه وقياسه وتأوله من غير حجة من السنة والجماعة فقد قال على الله ما لا يعلم ومن قال على الله مالا يعلم فهو من المتكلفين والحق ما جاء من عند الله عز و جل والسنة ما سنه رسول الله صلى الله عليه و سلم والجماعة ما اجتمع عليه أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم في خلافة أبي بكر وعمر وعثمان ومن اقتصر على سنة رسول الله صلى الله عليه و سلم وما كان عليه الجماعة فلج على أهل البدعة كلهم واستراح بدنه وسلم له دينه إن شاء الله لأن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ستفترق أمتي وبين لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم الفرقة الناجية منها فقال ما أنا عليه وأصحابي فهذا هو الشفاء والبيان والأمر الواضح والمنار المستقيم وقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إياكم والتنطع وإياكم والتعمق وعليكم بدينكم العتيق

Terjemahan: Dan ketahuilah bahawa sesiapa berkata-kata berkaitan agama Allah dengan ra’yi (akal atau pemikiran), qiyas (analogi) atau takwil (andaian) tanpa ada sandaran dari as-Sunnah dan al-Jama’ah, maka sebenarnya ia telah berbicara tanpa dasar ilmu dan bererti ia termasuk orang-orang yang memberat-beratkan dirinya dalam beragama (takalluf).

Dan kebenaran adalah yang datang dari Allah ‘Azza wa Jalla dan as-Sunnah adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, serta al-Jama’ah adalah apa sahaja yang telah disepakati (ijma’) para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada masa khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman.

Dan sesiapa yang mencukupkan diri dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan ajaran (agama) yang dipraktikkan oleh para sahabat serta sentiasa berjalan di atas al-Jama’ah, pasti akan mampu mengalahkan seluruh ahli bid’ah dan tubuh-badan dapat beristirehat serta agamanya selamat insyaAllah.

Kerana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Umatku akan berpecah.” Lalu beliau menjelaskan bahawa yang selamat adalah:

“Apa yang aku ada di atasnya pada hari ini bersama para sahabatku.”

Itulah penjelasan dan rawatan terbaik, perkara yang jelas, dan lampu penyinar yang terang-benderang. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Berwaspadalah dari sikap memberat-beratkan (ath-Tanathu’/extreme) serta berwaspadalah dari sikap yang melampau (berlebih-lebihan), tetapi berpeganglah dengan agamamu yang murni (yang asal yang bersih). (Imam al-Barbahari, Syarhus Sunnah, no. 103-106. Tahqiq Syaikh Kholid B. Qasim al-Roddady)

KEUTAMAAN SAHABAT DAN YANG WAJIB DIYAKINI TENTANG MEREKA SERTA MAZHAB AHLUS SUNNAH DALAM PERISTIWA YANG TERJADI DI ANTARA MEREKA

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

A. Siapa Sahabat dan yang Wajib Diyakini Tentang Mereka

Sahabat (الصحابة) adalah bentuk jama’ dari shahabi (صحابي), sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi s.a.w., beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan demikian.

Yang wajib diyakini tentang mereka iaitu bahawa para sahabat adalah sebaik-baiknya umat dan generasi, kerana mereka terlebih dahulu beriman, menemani Nabi s.a.w., berjihad bersama beliau, dan membawa serta menyampaikan syariat kepada orang-orang sesudah mereka. Allah memuji mereka dalam firman-Nya,

“Dan orang-orang Yang terdahulu - Yang mula-mula (berhijrah dan memberi bantuan) dari orang-orang "Muhajirin" dan "Ansar", dan orang-orang Yang menurut (jejak langkah) mereka dengan kebaikan (iman dan taat), Allah redha akan mereka dan mereka pula redha akan Dia, serta Dia menyediakan untuk mereka Syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah kemenangan yang besar. (at-Taubah: 100)

Juga dalam firman-Nya,

Nabi Muhammad (s.a.w) ialah Rasul Allah; dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaliknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama sendiri (umat Islam). Engkau melihat mereka tetap beribadat rukuk dan sujud, Dengan mengharapkan limpah kurnia (pahala) dari Tuhan mereka serta mengharapkan keredhaan-Nya. Tanda Yang menunjukkan mereka (sebagai orang-orang yang soleh) terdapat pada muka mereka - dari kesan sujud (dan Ibadat mereka yang ikhlas). Demikianlah sifat mereka yang tersebut di Dalam Kitab Taurat; dan sifat mereka di dalam Kitab Injil pula ialah: (bahawa mereka diibaratkan) sebagai pokok tanaman yang mengeluarkan anak dan tunasnya, lalu anak dan tunasnya itu menyuburkannya, sehingga ia menjadi kuat, lalu ia tegap berdiri di atas (pangkal) batangnya dengan keadaan yang mengkagumkan orang-orang yang menanamnya. (Allah menjadikan sahabat-sahabat Nabi Muhammad s.a.w dan pengikut-pengikutnya berkembang biak serta kuat gagah sedemikian itu) kerana ia hendak menjadikan orang-orang kafir merana dengan perasaan marah dan hasad dengki - Dengan berkembang biaknya umat Islam itu. (dan selain itu) Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal soleh dari mereka, keampunan dan pahala Yang besar. (al-Fath: 29)

Dan dalam firman Allah s.w.t. yang lain:

(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (kerana) mencari kurnia dari Allah dan keredhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (al-Hasyr: 8-9)

Dalam ayat-ayat tersebut di atas Allah memuji orang-orang Muhajirin dan Anshar serta memberi mereka sifat sebagai orang-orang yang bersegera kepada kebaikan. Allah s.w.t. mengkhabarkan bahawa Dia telah meredhai mereka dan menyediakan untuk mereka syurga-syurga. Sifat-sifat lain yang diberikan oleh Allah kepada mereka adalah:

1. Mereka saling berkasih sayang di antara mereka dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir.

2. Mereka adalah orang-orang yang banyak ruku’ dan sujud.

3. Mereka adalah orang-orang yang baik dan bersih hatinya.

4. Mereka adalah orang-orang yang dikenali dengan ketaatan dan keimanannya dan bahawa Allah memilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Nya s.a.w., sehingga menjadi marah musuh-musuh dan orang-orang kafir.

Di samping itu, Allah juga menyebutkan bahawa kaum Muhajirin meninggalkan kampung halaman dan harta benda mereka kerana Allah, untuk menolong Agama-Nya serta untuk mencari anugerah dan keredhaan-Nya. Dan mereka memang benar-benar demikian lalu Allah juga menyebutkan bahawa kaum Anshar adalah penduduk Darul Hijrah (kampung tempat hijrah), kaum yang beriman dan terpercaya. Allah menyifati mereka dengan cinta kepada saudara-saudara mereka dari kalangan Muhajirin, lebih mengutamakan mereka daripada diri mereka sendiri serta hati mereka bersih dari sifat kikir, sehingga mereka menjadi orang-orang yang beruntung.

Di dalam beberapa ayat yang lain Allah menyatakan:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Ali Imran: 110)

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah: 143)

Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu. (al-Anfal: 64)

Melalui beberapa ayat di atas, jelas menyebut keutamaan umat pada masa turunnya ayat tersebut (manusia dari kalangan para sahabat).

Dan berikut adalah dari beberapa hadis Rasulullah s.a.w. berkenaan keutamaan para sahabat:

“Sesungguhnya Allah telah memilih (memuliakan) para sahabatku atas semua jin dan manusia, kecuali para nabi dan rasul. (Hadis Riwayat al-Bazzar dalam Musnadnya. Disebut oleh Ibnu Hajar dalam al-Isabah, semua perawinya tsiqah)

Muliakanlah para sahabatku, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terbaik bagi kamu. (Hadis Riwayat oleh al-Baihaqi)

Tiada seorang nabi pun kecuali dibangkitkan oleh Allah ‘azza wa Jalla ada bersamanya umat yang menjadi penolongnya, para sahabatnya yang mengambil agama melalui sunnahnya dan mencontohinya dalam melaksanakan semua perintahnya. (Hadis Riwayat Muslim dan Ahmad)

Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (para sahabat), kemudian kurun selepasnya, dan kemudian kurun selepasnya. (Hadis Riwayat Muslim)

Demikian itulah beberapa hujjah yang menunjukkan keutamaan mereka (para sahabat) secara umum. Di samping itu, mereka memiliki keutamaan khusus dan setiap mereka berbeza darjat keutamaannya dari yang lain dengan berdasarkan permulaan masuk kepada Islam, jihad dan hijrah.

Adapun sahabat yang paling utama adalah Khulafa’ Rasyidin yang empat, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Selanjutnya enam sahabat lain dan sepuluh sahabat yang dikhabarkan pasti masuk syurga bersama mereka. Yakni Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa’d bin Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid. Kemudian orang-orang Muhajirin lebih utama daripada orang-orang Anshar. Juga para sahabat yang mengikuti perang Badar dan Bai’atun Ridhwan lebih utama dari sahabat yang lain. Dan sahabat yang masuk Islam sebelum dibebaskannya kota Makkah dan ikut berperang (jihad) lebih utama daripada sahabat yang masuk Islam setelah pembebasan kota Makkah.

B. Mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Hal Peperangan dan Fitnah Yang Melibatkan Sesama Para Sahabat

Dalam hal ini ada dua kaedah penting yang wajib diketahui:

Pertama: Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap diam terhadap apa yang terjadi di antara para sahabat serta tidak membahaskannya. Sebab jalan yang selamat dalam menyikapi hal seperti ini adalah diam seraya berkata,

“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)

Kedua: Menjawab pelbagai atsar (riwayat berkaitan sahabat) yang diriwayatkan tentang kejelekan para sahabat melalui beberapa penafian:

1. Sesungguhnya di antara atsar tersebut terdapat atsar yang didustakan dan diada-adakan oleh musuh-musuh mereka untuk memperburuk nama baik mereka.

2. Sesungguhnya di antara atsar tersebut ada yang telah ditambah, dikurangi mahupun diubah dari yang aslinya, sehingga di dalamnya terdapat kedustaan. Atsar tersebut telah diubah, kerana itu, tidak perlu diperhitungkan.

3. Di antara atsar sahih mengenai hal tersebut, yang jumlahnya sedikit, sesungguhnya mereka dalam hal tersebut boleh difahami kerana ada dua kemungkinan. Yakni sebagai mujtahid yang benar atau sebagai mujtahid yang salah. Persoalan hal tersebut adalah masih di dalam ruang ijtihad, di mana jika seorang mujtahid itu benar maka dia mendapat dua pahala dan jika ia salah maka dia memperoleh satu pahala dan kesalahannya diampuni. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.,

“Jika seorang hakim berijtihad dan benar (ijtihadnya) maka dia memperolehi dua pahala. Jika ia berijtihad dan salah (ijtihadnya) maka ia memperolehi satu pahala.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Amr bin al-Ash)

4. Sesungguhnya mereka adalah manusia biasa. Kerana itu adalah wajib jika salah seorang mereka bersalah, sebab mereka tidak suci dari dosa, sebagai seorang manusia. Akan tetapi apa yang terjadi pada mereka telah banyak pelupus-nya, di antaranya:

Pertama, boleh jadi ia telah bertaubat dari padanya, dan taubat itu menghapus keburukan/kesilapan dan betapa pun kesalahan itu adanya. Demikian sebagaimana disebutkan dalam pelbagai dalil.

Kedua, bahawasanya mereka memiliki keutamaan dan anugerah yang mewajibkan diampuninya dosa yang mereka lakukan, jika itu memang ada. Allah s.w.t. berfirman,

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang huruk.” (Hud: 114)

Di samping itu mereka adalah sahabat Nabi s.a.w., dan berjihad bersama beliau s.a.w., merupakan sesuatu yang berupaya menghapuskan kesalahan yang lebih kecil.

Ketiga, bahawasanya kebaikan mereka itu dilipat-gandakan lebih banyak dari selain mereka, bahkan tidak seorang pun yang menyamai keutaman mereka. Dan telah dengan tegas diberitakan oleh Nabi s.a.w., bahawa mereka adalah sebaik-baik generasi. Dan bahawa satu mud (sebelah tapak tangan) yang disedekahkan oleh salah seorang dari mereka itu lebih utama dari satu gunung emas yang disedekahkan oleh selain mereka. Semoga Allah meredhai mereka (radhiallahu ‘anhum).

Musuh-musuh Allah telah memanfaatkan apa yang terjadi di antara para sahabat pada masa fitnah perselisihan dan peperangan sebagai alasan untuk mencela dan memperlekehkan kemuliaan para sahabat. Program keji ini telah dilancarkan oleh sebahagian penulis kontemporeri, di mana mereka berbicara tentang apa yang tidak mereka ketahui. Mereka menempatkan diri sebagai hakim di antara para sahabat Rasulullah s.a.w., yang membenarkan sebahagian mereka dan menyalahkan sebahagian yang lain tanpa dalil. Bahkan berdasarkan kebodohan dan mengikuti hawa nafsu serta dengan mengulang-ulang apa yang dikatakan oleh orang-orang yang menyimpan kegusaran (kebencian) dan penuh kedengkian dari kalangan orientalis dan murid-muridnya. Usaha-usaha mereka itu berhasil membuat keraguan sebahagian pemuda Islam yang masih dangkal (cetek) pengetahuan sejarahnya tentang umat dan generasi terdahulunya yang mulia, walhal merekalah sebaik-baik generasi. Pada langkah selanjutnya, mereka ingin mencaci Islam, memecah belah persatuan umat Islam, serta menaruh sikap benci di hati generasi akhir dan umat ini terhadap generasi terdahulunya (dari golongan sahabat iaitu generasi paling awal beriman), sehingga tidak lagi mengikuti jejak para salaf as-soleh dan mengamalkan firman Allah s.w.t.,

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (al-Hasyr: 10)

LARANGAN MENCACI PARA SAHABAT DAN PARA IMAM

A. Larangan Mencela Sahabat Nabi s.a.w.

Salah satu prinsip-prinsip utama yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah wal-Jama’ah adalah (kewajiban) menjaga hati-hati dan lisan-lisan mereka (dari mencela) sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. sebagaimana yang telah disifatkan oleh Allah s.w.t. dalam firman-Nya,

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (al-Hasyr: 10)

Hal ini juga termasuk bentuk kepatuhan terhadap perintah Rasulullah s.a.w., dalam sabdanya,

“Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau pun sekiranya seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, (hal itu) tidak akan menyamai infak satu mud atau setengan mud dari salah seorang mereka.” (Mutafaq ‘alaih)

Manhaj Ahlus Sunnah menerima semua yang disebutkan di dalam kitab dan sunnah tentang keutamaan-keutamaan mereka, dan meyakini bahawa mereka adalah generasi terbaik, seperti yang disabdakan Rasulullah s.a.w.,

“Sebaik- sebaik kalian adalah generasiku (kelompok manusia dari kalangan sahabat).” (Hadis Riwayat al-Bukhari)

Dan ketika Rasulullah s.a.w., menyebutkan bahawa umatnya akan terpecah menjadi 73 golongan dan bahawasanya semuanya (tempatnya) di neraka kecuali satu golongan saja, lalu para sahabat bertanya kepada beliau tentang golongan yang satu in, dan beliau s.a.w. menjawab,

“Mereka adalah orang yang berada pada (jalan) seperti (jalan) yang aku dan sahabat-sahabatku berada di atasnya hari ini.” (Hadis Riwayat Ahmad dan lainnya)

B. Larangan Mencela Para Imam Dan Ulama Umat Ini

Setelah para sahabat, yang menduduki tingkatan berikutnya dalam keutamaan, kemuliaan dan darjat yang tinggi (selepas generasi para sahabat) adalah para imam dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka dari generasi-generasi berikutnya dan juga orang-orang yang datang setelah mereka yang mengikuti dengan baik jejak para sahabat sebagaimana firman Allah s.w.t.,

Dan orang-orang yang terdahulu yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dari orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah redha kepada mereka dan mereka pun redha kepada Allah. (at-Taubah: 100)

Oleh kerana itu, tidak boleh kita mencaci dan mencela mereka, ini adalah atas sebab mereka adalah merupakan tokoh-tokoh dalam menunjuki jalan yang benar. Allah s.w.t. berfirman,

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginda dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia binasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)

Al-Imam Ibnu Abil ‘lzz (pensyarah kitab at-Thahawiyah) berkata, “Diwajibkan bagi setiap muslim, setelah dia memberikan kesetiaan dan kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya, untuk memberikan kesetiaan dan kecintaannya pula kepada orang-orang mukmin. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh al-Qur’an, khususnya kesetiaan dan kecintaan itu diberikan kepada mereka yang termasuk pewaris para nabi (ulama) yang mereka dijadikan oleh Allah s.w.t. seperti bintang-bintang yang boleh dijadikan tunjuk arah dalam kegelapan di darat mahupun di laut, dan kaum muslimin telah bersepakat bahawa mereka mendapat hidayah dan pengetahuan (tentang syariat).

Merekalah para pengganti Rasul dalam umatnya dan merekalah yang menghidupkan kembali sunnah-sunnah (ajaran) beliau yang telah mati (ditinggalkan). Dengan mereka kitab al-Qur’an menjadi tegak (syi’arnya) dan dengan Kitab al-Quran mereka bangkit, dengan mereka kitab al-Qur’an dapat sampai (kepada kita), dan dengan kitab al-Qur’an mereka berbicara. Mereka semua telah bersepakat dengan penuh keyakinan atas wajibnya (seorang muslim) mengikuti ajaran Rasulullah s.a.w., akan tetapi bila ada pendapat yang dikemukakan salah seorang mereka ternyata bertentangan dengan hadis sahih maka tentu saja ada sesuatu alasan baginya untuk meninggalkannya.

Alasan-alasan itu ada tiga iaitu:

1. Dia tidak meyakini bahwa Nabi s.a.w., bersabda demikian.

2. Dia tidak meyakini bahawa sabda Nabi s.a.w., itu dimaksudkan untuk masalah tertentu.

3. Keyakinan bahawa hukum tersebut telah di hapus.

Mereka itu berjasa pada kita semua, merekalah yang lebih dahulu memeluk Islam dan menyampaikan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. kepada kita. Merekalah yang menjelaskan kepada kita hal-hal yang tidak kita ketahui dari syariat ini, maka Allah pun redha kepada mereka dan menjadikan mereka redha (kepada-Nya)

"Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (al-Hasyr: 10)

Memperlekehkan ulama, hanya Kerana keliru dalam berijtihad adalah sikap orang-orang ahli bid’ah dan juga termasuk strategi musuh-musuh umat Islam untuk menimbulkan keraguan dalam agama Islam dan membangkitkan permusuhan dikalangan umat Islam, serta untuk memutuskan hubungan antara generasi Islam masa kini dengan pendahulu-pendahulunya, juga bagi tujuan memecah belah antara kaum muda dan para ulama seperti yang banyak terjadi di zaman ini. Semoga kita beroleh Taufiq dan Hidayahnya.

Wallahu a’lam...

Khamis, Februari 24, 2011

KEUTAMAAN AHLUL BAIT DAN KEWAJIBAN KEPADA MEREKA TANPA MENGURANGINYA ATAU BERLEBIH-LEBIHAN

http://aqidah-wa-manhaj.blogspot.com

Ahlul bait adalah keluarga Nabi yang diharamkan bagi mereka untuk menerima shadaqah (zakat). Mereka adalah keluarga Ali r.a., keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keluarga al-Abbas, keturunan al-Harits bin Abdil Muththalib serta isteri-isteri Nabi s.a.w., dan putera-puteri beliau.

Hal itu berdasarkan firman Allah s.w.t.,

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)

Imam lbnu Katsir rahimahullah berkata, “Sesuatu yang tidak diragukan lagi dan perenungan terhadap al-Qur’an adalah bahawa isteri-isteri Nabi s.a.w., itu termasuk dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab: 33)

Sebab pembicaraan masalah tersebut berkaitan dengan mereka. Kerana itu Allah s.w.t. berfirman sesudahnya,

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu).” (al-Ahzab: 34).

Ertinya, amalkanlah apa yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya di rumah kalian, sama ada al-Qur’an mahupun as-Sunnah. Demikian sebagaimana dikatakan oleh Qatadah dan lainnya. Lalu ingatlah nikmat yang diberikan Allah khusus kepada kalian di antara manusia. Dan bahawasanya wahyu itu diturunkan Allah di rumah kalian, tidak di rumah orang lain. Dan Aisyah binti Abu Bakar r.ha adalah yang paling utama dari mereka dengan nikmat tersebut serta yang paling istimewa menerima rahmat yang banyak tersebut. Sebab tidak pernah turun wahyu kepada Rasulullah s.a.w. di tempat tidur perempuan selain tempat tidur Aisyah r.ha. Demikian seperti disebutkan Nabi s.a.w.. Sebahagian ulama mengatakan, hal itu kerana Nabi tidak menikah dengan gadis selainnya dan tidak ada laki-laki lain yang tidur di tempat tidurnya selain beliau s.a.w. (maksudnya, Aisyah tidak menikah dengan selain Nabi s.a.w.). Kerana itu, adalah tepat jika Aisyah dikhususkan dengan keistimewaan dan kedudukan yang tinggi tersebut.

Selanjutnya, jika para isteri Nabi s.a.w. adalah termasuk keluarga (ahlul bait) Nabi s.a.w., maka para kerabatnya lebih berhak untuk mendapatkan sebutan ahlul bait. Demikian sebagaimana ditulis dalam Tafsir Ibnu Katsir.

Ahlus sunnah wal Jamaah mencintai Ahlul bait Rasulullah s.a.w., setia kepada mereka dan selalu menjaga wasiat Rasulullah s.a.w. yang diucapkannya pada hari Ghadir Khum (nama tempat):

“Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam hal ahli baitku.” (Hadis Riwayat Muslim)

Ahlus Sunnab wal Jamaah mencintai ahlul bait dan memuliakan mereka, sebab hal itu termasuk kecintaan terhadap Nabi s.a.w.. Tetapi hal itu harus dengan syarat bahawa mereka mengikuti sunnah dan berada dalam agama yang lurus. Sebagaimana para salaf mereka, seperti al-Abbas dan putra-putrinya serta Ali dan putra putrinya. Adapun mereka yang menyelisihi sunnah dan tidak berada dalam agama yang lurus, maka kita tidak boleh setia kepada mereka, meskipun mereka itu termasuk ahlul bait.

Jadi, sikap Ahlus Sunnah wal-Jamaah terhadap ahlul bait adalah sikap adil dan inshaf (lurus/jalan tengah). Mereka setia kepada ahlul bait yang berpegang teguh pada agama dan lurus dengannya, serta berlepas diri dari yang menyelisihi sunnah dan berpaling dari agama, meskipun ia termasuk ahlul bait keberadaannya sebagai ahlul bait dan kedekatannya dengan Rasul s.a.w., dari sisi kekerabatan sungguh tidak bermanfaat sedikit pun untuknya, sampai ia berada pada agama yang lurus.

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan, “Ketika diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. ayat,

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (Asy-Syu’ara’: 214)

Maka beliau s.a.w. bersabda,

“Wahai segenap kaum Quraisy! —atau kalimat sejenis—, belilah diri kalian sendiri, sesungguhnya aku tidak berguna sama sekali bagi kalian di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muthalib! Sesungguhnya aku tidak berguna sama sekali bagimu di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah, bibi Rasulullah! Sesungguhntja aku tidak berguna sama sekali bagimu di hadapan Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad! Mintalah kepadaku harta bendaku sesukamu, tetapi sesungguhnya aku tidak berguna sama sekali bagimu di hadapan Allah.” (Hadis Riwayat al-Bukhari)

Dan Rasulullah s.a.w. juga bersabda,

“Barangsiapa amalnya lambat, maka nasabnya tidak boleh mempercepat amalnya.” (Hadis Riwayat Muslim)

Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah dalam hal ini juga dalam hal-hal lain selalu berada dalam manhaj yang adil dan jalan yang lurus, tidak meremehkan juga tidak berlebih-lebihan.

Saidatina Khadijah R.A. mengahwini Rasulullah S.A.W ketika berumur 25 tahun, bukan 40.

Dikatakan bahawa Ummul Mu’minin Saidatina Khadijah r.a. berumur 40 tahun ketika beliau berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Ia adalah suatu riwayat yang yang tidak berasas tetapi telah disebarkan sebegitu rupa dan digarap seolah-olah sebahagian daripada ugama. Ini adalah percubaan untuk membuktikan bahawa Rasulullah s.a.w. telah melalui zaman mudanya bersama-sama dengan seorang wanita tua. Dalam usia lanjut, beliau r.a telah melahirkan empat orang anak perempuan iaitu Zainab, Ruqayyah, Ummu Kalthum dan Fatimah r.a.; dan tiga orang anak lelaki yang dinamakan Qasim, Tayyab and Tahir. Menurut sesetengahnya pula, beliau r.a. telah melahirkan empat orang anak lelaki; ada seorang yang bernama Abdullah, sedangkan setengah yang lainnya pula menyatakan bahawa yang sebenarnya Abdullah telah dipanggil sebagai Tayyab dan Tahir.

Saidatina Khadijah r.a. telah berkahwin sebanyak dua kali sebelum berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Perkahwinan pertamanya adalah dengan Abu Halah Hind bin Banash bin Zararah. Daripadanya, beliau telah mendapat seorang anak lelaki dan seorang anak perempuan. Nama anak lelakinya ialah Hind dan anak perempuannya bernama Halah. Setelah kematian Abu Halah, Khadijah r.a. berkahwin dengan Atiq bin ‘Aid Makhzumi. Daripadanya dia mendapat seorang anak perempuan yang juga bernama Hind. Inilah sebabnya mengapa Saidatina Khadijah r.a. mendapat kunniyah sebagai Ummu Hind. Anak lelaki Saidatina Khadijah, Hind, telah memeluk Islam. (Seerat-un-Nabi, Jilid II, m/s 402).

Di sini, timbul satu persoalan, iaitu Saidatina Khadijah r.a. telah melahirkan empat orang anak sahaja di usia mudanya, namun semasa usia tuanya beliau telah melahirkan tujuh atau lapan orang anak, yang mana ia agak bertentangan dengan logik akal. Sebabnya, menurut Sains Perubatan, seorang wanita menjadi tidak subur untuk melahirkan anak, biasanya apabila melewati usia 45 tahun. Bagaimana pula boleh dipercayai bahawa lapan orang anak telah dilahirkan setelah melepasi usia 40 tahun?

Pihak Orientalis dan musuh-musuh Islam telah memberi perhatian khusus terhadap riwayat ini, kerana peristiwa ini jelas bertentangan dengan akal. Dengan mendedahkan peristiwa seperti ini, mereka mengambil kesempatan untuk mencemuh Islam.

Namun begitu, ulama kita sebaliknya menganggap kejadian ini sebagai ‘satu mukjizat’ Rasulullah s.a.w. Tambahan lagi mereka menganggap inilah keistimewaan nabi s.a.w. kerana sanggup mengahwini wanita yang tua sedangkan baginda s.a.w. sendiri muda belia.

Di pihak yang lain golongan Syiah mendakwa adalah tidak mungkin melahirkan sebegitu ramai anak di usia tua. Oleh itu, Zainab, Ruqayyah dan Ummu Kalthum tidak diiktiraf sebagai anak nabi s.a.w.

Golongan Syiah mengatakan bahawa umur Khadijah r.a. ialah 40 tahun semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Meskipun mereka amat mahir bermain dengan angka, mereka telah melakukan kesilapan bodoh bila mendakwa bahawa Fatimah r.a. dilahirkan lima tahun selepas kenabian. Dalam hal ini, Khadijah sudah berumur 60 tahun semasa melahirkan Fatimah r.a.. Dengan ini tidak mungkin Ruqayyah dan Kalthum adalah anak kepada Khadijah kerana mereka adalah lebih muda dari Fatimah.

Kita akan membuktikan bahawa empat orang anak perempuan ini adalah dilahirkan oleh Saidatina Khadijah r.a. dari Rasulullah s.a.w. Tetapi sebelum itu orang Syiah perlu membuktikan bahawa seorang wanita yang berusia 60 tahun boleh melahirkan anak. Dan apabila mereka membuktikannya, mereka mesti juga membuktikan bahawa Fatimah r.a. adalah anak kepada Khadijah r.a.

Sebenarnya terdapat perbezaan pendapat tentang usia sebenar Khadijah r.a bila berkahwin dengan Rasulullah s.a.w. Ada yang berkata umurnya 40 tahun. Ada yang berpendapat usianya 35 tahun. Yang lain pula mengatakan 30 tahun, dan sesetengah pula mengatakan 27 tahun, manakala ada pula yang menyatakan bahawa usianya 25 tahun. Ahli-ahli sejarah Syiah sependapat mengatakan umurnya 40 tahun, dan mereka menolak pendapat lain. Dan mereka riuh rendah menyebarkan pendapat ‘40 tahun’ ini seolah-olah pandangan lain tidak pernah wujud. Ulama kita dan ahli-ahli sejarah yang terkemudian juga terpengaruh dengan daayah ini dan menyangkakan bahawa pendapat golongan Syiah inilah yang ‘tepat’.

Hafiz Ibn Kathir menulis:

“Baihaqi telah memetik daripada Hakim iaitu apabila Rasulullah mengahwini Khadijah r.a., baginda s.a.w. adalah berumur dua puluh lima tahun dan Saidatina Khadijah r.a. berumur tiga puluh lima tahun, dan ada pendapat lain mengatakan usianya dua puluh lima tahun.” (al-Bidayah, Jilid II, m/s 295)

Dengan lain perkataan, Baihaqi dan Hakim menyatakan bahawa Saidatina Khadijah r.a. berusia tiga puluh lima tahun pada waktu itu. Bersama-sama dengan itu, mereka juga turut mengatakan bahawa ada pendapat bahawa beliau r.a. berusia dua puluh lima tahun.

Di tempat lain, Hafiz Ibn Kathir mengatakan usia Saidatina Khadijah r.a. pada masa kewafatannya, sebagaimana berikut: “Usia Saidatina Khadijah mencapai 65 tahun. Satu pendapat mengatakan beliau meninggal pada usia 50 tahun. Dan pendapat ini (iaitu 50 tahun) adalah yang benar.” (al-Bidayah wan Nihayah, Jilid II, m/s 294)

Ulama Hadis dan ahli sejarah bersetuju bahawa Saidatina Khadijah r.a. menjalani hidup sebagai isteri Rasulullah s.a.w. selama 25 tahun dan beliau r.a. meninggal dunia pada tahun ke-10 Kerasulan. Hafiz Ibn Kathir berkata; ‘pendapat yang benar adalah usianya mencecah 50 tahun’ telah membuktikan bahawa usia Saidatina Khadijah pada masa perkahwinannya ialah 25 tahun. Dan juga, Hafiz Ibn Kathir juga telah membuktikan bahawa ‘maklumat’ yang diterima pada hari ini (iaitu umur Khadijah r.a. 40 semasa berkahwin dengan Rasulullah s.a.w.) adalah salah dan tidak benar sama sekali..

Meskipun dengan fakta yang sebegini jelas, kita masih mempercayai (dan terperangkap) dalam berita yang lebih merupakan khabar angin semata-mata.

Apabila kami mengkaji ‘Al-Bidayah wan-Nihayah’ yang ditulis oleh Ibn Kathir, barulah kami menyedari akan kesilapan kami. Semoga Allah yang Maha Kuasa mengampuni kami, kerana kami adalah mangsa kepada suatu salah faham yang besar. Moga Allah yang Berkuasa mengurniakan kepada kita semua kefahaman akan Kebenaran.

Wallahua’lam

Aamin! Ya Rabbal Aalamin

http://www.darulkautsar.net/article.php?page=8&ArticleID=562

WWW.SYIAHMALAYSIA.BLOGSPOT.COM

Khamis, Februari 03, 2011

Tiga Pokok Kebahagiaan

copied from Dakwah Tauhid

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat. Sedangkan ketiga hal ini memiliki satu musuh yang sama yaitu kekosongan hati dari rasa harap di jalan [ketaatan kepada] Allah dan keinginan untuk mencapai balasan yang ada di sisi-Nya serta ketiadaan rasa takut terhadap-Nya dan hukuman yang dijanjikan di sisi-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 104)

Tauhid mengantarkan menuju bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-An’aam: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat (yang ikhlas), dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat (yang tidak ikhlas).”

Syirik mengantarkan menuju sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim).

Sunnah mengantarkan menuju bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad); Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim). Imam Malik rahimahullah berkata, “Sunnah adalah [laksana] bahtera Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal akan tenggelam.”

Bid’ah mengantarkan menuju sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia justru mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya akan Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan -dalam agama-, [dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah] dan setiap bid’ah pasti sesat [dan setiap kesesatan di neraka].” (HR. Muslim, tambahan dalam kurung dalam riwayat Nasa’i)

Ketaatan mengantarkan menuju bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa mentaatiku masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akherat.”

Kemaksiatan mengantarkan menuju sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi nafsu (ketaatan) sedangkan neraka diliputi dengan perkara-perkara yang disenangi nafsu (kemaksiatan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hilangnya harapan dan rasa takut

Sementara ketiga hal di atas -tauhid, sunnah, dan ketaatan- memiliki satu musuh yang sama yaitu ketiadaan rasa harap dan rasa takut. Yaitu ketika seorang hamba tidak lagi menaruh harapan atas apa yang Allah janjikan dan tidak menyimpan rasa takut terhadap ancaman yang Allah berikan. Akibat ketiadaan harap dan takut ini maka timbul berbagai dampak yang membahayakan. Di antara dampaknya adalah; [1] terlena dengan curahan nikmat sehingga lalai dari mensyukurinya, [2] sibuk mengumpulkan ilmu namun lalai dari mengamalkannya, [3] cepat terseret dalam dosa namun lambat dalam bertaubat, [4] terlena dengan persahabatan dengan orang-orang saleh namun lalai dari meneladani mereka, [5] dunia pergi meninggalkan mereka namun mereka justru senantiasa mengejarnya, [6] akherat datang menghampiri mereka namun mereka justru tidak bersiap-siap untuk menyambutnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa ketiadaan rasa harap dan takut ini bersumber dari lemahnya keyakinan. Lemahnya keyakinan itu timbul akibat lemahnya bashirah/pemahaman. Dan lemahnya bashirah itu sendiri timbul karena jiwa yang kerdil dan rendah (lihat al-Fawa’id, hal. 170).

Bersihkan jiwamu!

Jiwa yang kerdil dan rendah akan merasa puas dengan perkara-perkara yang hina, sementara jiwa yang besar dan mulia tentu hanya akan puas dengan perkara-perkara yang mulia (lihat al-Fawa’id, hal. 170). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh berbahagia orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams: 9-10). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yaitu orang yang menyucikan jiwanya dari dosa-dosa dan membersihkannya dari aib-aib, lalu dia meninggikannnya dengan ketaatan kepada Allah serta memuliakannya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 926). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud penyucian di sini ialah dia menyucikan dirinya dengan cara membebaskannya dari syirik dan noda-noda maksiat, sehingga jiwanya menjadi suci dan bersih.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 165)

Dari sinilah, kita menyadari betapa besar peran ilmu yang diamalkan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa seusai sholat Subuh dengan doa yang sangat indah, Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan. Yang artinya; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik, dan amalan yang diterima.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sedangkan ilmu dan pemahaman seorang hamba tentang agamanya diukur dengan rasa takutnya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti ilmu -seseorang-.”